Oleh: FERI RUSDIONO, SH (Jurnalis Senior, Ketua Umum DPP Perkumpulan Wartawan Online Dwipantara / PWO DWIPA)
Jakarta | CNNIndonesia : Pentingnya Telaah Ulang Empat Pilar.
Perdebatan mengenai Empat Pilar MPR RI masih terus bergulir hingga hari ini. Sebagai sebuah gagasan yang digadang untuk memperkuat kehidupan berbangsa dan bernegara, konsep ini telah mengalami banyak kritik, terutama dari kalangan akademisi, praktisi hukum, dan sejarawan.
Kritik mendasar yang muncul adalah apakah konsep Empat Pilar benar-benar sesuai dengan spirit konstitusi, atau justru menjadi pengulangan yang melemahkan makna dasar hukum negara.
Sebagai jurnalis senior sekaligus pemerhati hukum tata negara, saya merasa perlu memberikan opini publik ini agar polemik tidak hanya berhenti pada kritik, tetapi berkembang menjadi pencerahan dan jalan keluar.
MPR RI, DPR RI, dan DPD RI sejatinya adalah institusi yang lahir dari amanat reformasi untuk memperkuat demokrasi dan tata kelola negara. Karena itu, segala produk gagasan dan sosialisasi harus diuji secara akademik, yuridis, dan historis.
Tulisan ini juga ditujukan sebagai bentuk kontribusi moral, agar generasi bangsa tidak terjebak dalam dogma yang tidak kokoh landasan hukumnya, serta membuka ruang debat akademik yang sehat.
Telaah Kritis Konsep Empat Pilar
Empat Pilar terdiri dari: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Secara substansi, keempatnya memang adalah fondasi kehidupan berbangsa.
Namun, problem yang muncul adalah istilah "pilar". Secara teoritis, pilar adalah penopang bangunan. Jika ada empat pilar, maka bangunannya apa? Apakah negara ini bangunan tanpa pondasi?
Para sejarawan, termasuk Prof. Dr. Batara Hutagalung, menilai bahwa konsep pilar justru mereduksi kedudukan Pancasila.
Pancasila adalah dasar negara sekaligus ideologi bangsa. Ia tidak seharusnya diposisikan sejajar dengan UUD 1945 atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan menempatkan Pancasila sebagai "salah satu pilar", MPR tanpa sadar menurunkan derajatnya dari posisi fundamental menjadi sekadar komponen.
Perspektif Hukum Tata Negara
Dari sisi hukum, dasar negara adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
Pancasila bukan hanya norma dasar (grundnorm), tetapi juga sumber dari segala sumber hukum.
UUD 1945 adalah konstitusi tertulis yang memuat norma turunan dari Pancasila. Jadi, kedudukannya berada di bawah Pancasila.
Sementara NKRI adalah bentuk negara yang dipilih oleh pendiri bangsa, dan Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang memperkuat kesatuan.
Jika keempatnya dipukul rata sebagai "pilar", maka hilanglah hierarki hukum yang seharusnya tetap dijaga.
Dimensi Sejarah dan Filosofi
Sejarah bangsa Indonesia jelas mencatat bahwa Pancasila lahir lebih dahulu dari UUD 1945.
Bung Karno dalam pidatonya 1 Juni 1945 menyebut Pancasila sebagai philosophische grondslag (falsafah dasar).
Para pendiri bangsa tidak pernah menggunakan istilah "pilar".
Justru mereka menegaskan bahwa Pancasila adalah dasar negara, bukan sekadar tiang penyangga.
Konsep "pilar" adalah konstruksi baru yang tidak memiliki akar sejarah dalam sidang BPUPKI maupun PPKI.
Implikasi Sosialisasi yang Problematis
Sosialisasi empat pilar yang dilakukan oleh MPR selama ini menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Banyak peserta sosialisasi, terutama di daerah, tidak mampu membedakan mana yang dasar negara dan mana yang hanya semboyan.
Hal ini berbahaya, sebab pendidikan kebangsaan justru melahirkan pemahaman kabur.
Jika generasi muda memahami Pancasila hanya sebagai "pilar", maka legitimasi historis dan filosofis Pancasila tergerus.
Dengan demikian, MPR perlu meninjau ulang cara pandang dan metode sosialisasi.
Kritik Akademik dan Publik
Akademisi menilai konsep empat pilar tidak tepat secara teori hukum.
Publik menilai sosialisasi empat pilar hanya jadi ajang proyek politik dan anggaran.
Sejarawan menilai konsep ini ahistoris.
Praktisi hukum menilai konsep ini bertentangan dengan hierarki norma.
Semua kritik ini tidak boleh diabaikan, melainkan harus menjadi bahan refleksi bagi MPR.
Tantangan MPR, DPR, dan DPD
MPR sering berdalih bahwa empat pilar hanyalah istilah pedagogis agar lebih mudah dipahami.
Namun, istilah yang keliru tetaplah keliru, sekalipun dengan niat baik.
DPR dan DPD sebagai bagian dari parlemen juga tidak boleh diam.
Mereka perlu mendorong evaluasi komprehensif agar tidak melahirkan generasi yang rancu secara ideologi.
Kritik publik seharusnya diterima sebagai vitamin demokrasi, bukan sebagai ancaman.
Alih-alih "Empat Pilar", sebaiknya MPR menggunakan istilah "Empat Konsensus Kebangsaan".
Dengan istilah itu, kedudukan Pancasila tetap dijaga sebagai dasar negara, bukan sekadar tiang.
UUD 1945 diposisikan sebagai hukum dasar, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan pemersatu.
Istilah konsensus lebih tepat karena keempatnya memang hasil kesepakatan politik kebangsaan.
Dengan demikian, aspek yuridis, filosofis, dan historis tetap konsisten.
Peran Sejarawan dan Akademisi
Sejarawan senior seperti Prof. Dr. Batara Hutagalung sudah memberikan banyak kritik.
Akademisi lain dari UI, UGM, dan Unpad juga menilai bahwa istilah pilar berpotensi melemahkan otoritas Pancasila.
Pendapat para ahli ini harus menjadi masukan serius bagi MPR.
Jangan sampai kritik akademik dianggap sekadar perbedaan pendapat tanpa solusi.
Sebab, fungsi sejarawan dan akademisi adalah penjaga memori kolektif bangsa.
Jalan Pencerahan
Sebagai jurnalis senior, saya berpendapat bahwa polemik empat pilar adalah momentum penting untuk menguji kedewasaan demokrasi.
MPR harus berani menerima kritik sebagai bahan introspeksi.
DPR dan DPD harus aktif mendorong forum uji publik agar sosialisasi lebih akademis.
Publik harus dilibatkan melalui diskusi terbuka, bukan sekadar sosialisasi formal.
Dengan begitu, bangsa ini tidak hanya cerdas secara politik, tetapi juga matang secara ideologis.
Harapan dan Pemecahan
Empat pilar dalam bentuk saat ini memang problematis, tetapi bukan berarti tidak bisa diperbaiki.
Yang diperlukan adalah kejujuran intelektual dan keberanian politik untuk meninjau ulang konsepnya.
MPR sebagai lembaga tinggi negara harus menjaga marwahnya dengan konsistensi historis dan yuridis.
DPR dan DPD harus mengawal agar konsep kebangsaan tidak dikomodifikasi.
Akademisi dan sejarawan harus terus mengkritisi, memberi masukan, dan menjaga memori sejarah.
Media dan jurnalis harus menjadi penyalur opini publik yang kritis namun konstruktif.
Generasi muda harus diberi pemahaman yang benar tentang Pancasila sebagai dasar negara.
Kita tidak boleh membiarkan kesalahan terminologi merusak tatanan ideologi bangsa.
Reformulasi konsep empat pilar menjadi konsensus kebangsaan adalah langkah terbaik.
Dengan demikian, cita-cita para pendiri bangsa tetap terjaga, dan arah bangsa ke depan tetap kokoh di atas dasar negara Pancasila. (Red/Iwan).
